2015
Nama : Liyah Liyana
Kelas : 2EB17
NPM : 25213019
Tugas : Sobskill ( HUKUM PERIKATAN )
Dosen : SEPTI HERAWATI
BAB 4
HUKUM PERIKATAN
Hukum Perikatan
Hukum perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaanantara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum, akibat hukum dari suatu
perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan
perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun,
baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan
kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak
melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu
dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat
sesuatu adalah melakukan perbuatan yangsifatnya positif, halal, tidak melanggar
undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang
telahdisepakati dalam perjanjian.
Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia
adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi
lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia.
Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang
menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat
tiga sumber adalah sebagai berikut :
v Perikatan yang timbul dari
persetujuan ( perjanjian )
v Perikatan yang timbul dari
undang-undang
v Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan
perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
ü Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata )
: Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.
Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu.
ü Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata
) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
ü Undang-undang ( Pasal 1352 KUH
Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang
atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Asas-asas Dalam Hukum Perjanjian
1. Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang
dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam
undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338
KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak
untuk:
1. Membuat atau tidak membuat
perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan
siapa pun;
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,
dan persyaratannya;
4. Menentukan bentuk perjanjiannya
apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak
adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman
Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman
renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes,
John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas
untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam
“kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible
hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah
sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan
kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan
kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak
yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
2. Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320
ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini
merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh
kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi
dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas
konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan
perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan
secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian
formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis
(baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis
literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian
apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal
dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas
pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.
Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya
sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal
1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam
hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada
kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini
mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan
perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum,
yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata
sepakat saja.
4. Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas
ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua
macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku
yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal
sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian
tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
5. Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340
KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti
ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang
tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Wanprestasi dan Akibatnya
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat
antara kreditur dengan debitur.
Ada empat kategori dari wanprestasi, yaitu :
ü Tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya.
ü Melaksanakan apa yang dijanjikannya,
tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
ü Melakukan apa yang dijanjikan tetapi
terlambat.
ü Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukannya
Akibat-akibat wanprestasi berupa hukuman atau
akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat digolongkan
menjadi tiga, yaitu :
1. Membayar kerugian yang diderita oleh
kreditur ( ganti rugi )
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni
:
·
Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang
nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak
·
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor
·
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan perjanjian atau pemecahan
perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti
rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
3. Peralihan resiko
Adalah kewajiban untuk memikul
kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH
Perdata.
Hapusnya Hukum Perikatan
Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara
hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
·
Pembayaran.
·
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan (konsignasi).
·
Pembaharuan utang (novasi).
·
Perjumpaan utang atau kompensasi.
·
Percampuran utang (konfusio).
·
Pembebasan utang.
·
Musnahnya barang terutang.
·
Batal/ pembatalan.
·
Berlakunya suatu syarat batal.
·
Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Pembayaran
Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang
oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk
uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak
hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter,
tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak
pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran
pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat
menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
Novasi
Novasi adalah sebuah persetujuan, dimana suatu
perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan,
yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan
suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
v Apabila seorang yang berutang
membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya, yang
menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut
novasi objektif.
v Apabila seorang berutang baru
ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh siberpiutang
dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif).
v Apabila sebagai akibat suatu
perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur
lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif
aktif).
Kompensasi
Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat
ditagih antara kreditur dan debitur.
Konfusio
Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang
yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu. Misalnya si
debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya,
atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar