UNIVERSITAS GUNADARMA
2015
Nama : Liyah Liyana
Kelas : 2EB17
NPM : 25213019
Tugas : Sobskill ( HUKUM PERJANJIAN )
Dosen : SEPTI HERAWATI
BAB 5
HUKUM PERJANJIAN
PENGERTIAN PERJANJIAN
Menurut
Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang
disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
1.
STANDAR KONTRAK
Standar Kontrak adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan
terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam
jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa
memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan) perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam
bentuk formulir (Mariam Badrulzaman) is one in which there is great disparity of bargaining
power that the weaker party has no choice but to accept the terms imposed by
the stronger party or forego the transaction.
Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman
bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun
terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar,
ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan
bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang
ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan
ukuran.
Menurut Mariam Darus,
standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
v
Kontrak standar umum
artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan
disodorkan kepada debitur.
v
Kontrak standar
khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan
berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Jenis-jenis kontrak
standar
1) Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan
persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal,
dapat dibedakan menjadi:
1)
kontrak standar yang isinya
ditetapkan oleh produsen/kreditur;
2)
kontrak standar yang isinya
merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
3)
kontrak standar yang isinya
ditetapkan oleh pihak ketiga
2)
Ditinjau dari format atau
bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat dibedakan dua bentuk
kontrak standar, yaitu:
v
Kontrak standar menyatu;
v Kontrak standar terpisah.
3)
Ditinjau dari segi
penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara:
v
Kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandatangani. Kontrak standar yang tidak perlu ditandatangani saat
penutupan.
Azas-azas
Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum
Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan
karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
Ø
Azas Konsensualitas,
yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik
tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan
lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai
syarat-syarat sahnya perjanjian.
Ø
Azas Kebebasan
Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas
untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam
Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.
Macam macam Perjanjian
Dalam melakukan kesepakatan apakah
kesepakatan bisnis, kesepakatan kerja, kesepakatan jual beli, kesepakatan sewa
dan lain-lain biasanya diperlukan suatu jaminan atau kepastian. Hal ini
dimaksudkan agar kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan, dan untuk menjamin
kesepakatan tersebut berjalan dengan baik maka dibuatlah perjanjian.
Perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak
menjamin adanya kepastian bahwa kesepakatan yang telah disepakati bersama dapat
ditepati dengan sebaik-baiknya. Perjanjian bisa dibuat secara lisan maupun
tulisan, namun kekuatan perjanjian lisan sangatlah lemah sehingga apabila
terjadi sengketa diantara kedua pihak yang berjanji akan sulit membuktikan
kebenarannya.
Untuk hal-hal yang sangat penting orang lebih
memilih perjanjian secara tertulis atau dengan surat perjanjian sebagai bukti
hitam diatas putih demi keamanan.
Dalam surat perjanjian biasanya berisi
kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling
mengikatkan diri untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Selain kedua
belah pihak, dalam surat perjanjian kadang melibatkan pihak ke tiga untuk
menguatkan perjanjian tersebut.
Secara klasifikasi surat perjanjian dibagi 2 jenis yaitu
:
- Perjanjian autentik, yaitu perjanjian yang disaksikan oleh pejabat pemerintah.
- Perjanjian dibawah tangan, yaitu perjanjian yang tidak disaksikan oleh pejabat pemerintah.
Namun
demikian klasifikasi diatas tidak ada hubungannya dengan keabsahan sebuah surat
perjanjian. Surat perjanjian tanpa notaris tetap sah selama memenuhi syarat dan
ketentuan yang berlaku. Dalam surat perjanjian selain mencantumkan persetujuan
mengenai batas-batas hak dan kewajiban masing-masing pihak, surat tersebut juga
menyatakan jalan keluar yang bagaimana, yang akan ditempuh, seandainya salah satu
pihak tidak melaksanakan kewajibannya. Jalan keluar disini bisa pemberian
sanksi, ganti rugi, tindakan administrasi, atau gugatan ke pengadilan.
Surat perjanjian setidaknya mengacu pada hal-hal sebagai
berikut :
- Surat perjanjian harus ditulis diatas kertas segel atau kertas biasa yang dibubuhi materai cukup.
- Surat perjanjian dibuat rasa ikhlas, rela, tanpa paksaan.
- Isi surat perjanjian harus disetujui oleh kedua belah pihak yang berjanji.
- Pihak yang berjanji harus sudah dewasa dan dalam keadaan waras dan sadar.
- Isi surat perjanjian harus jelas dan tidak mempunyai peluang untuk ditafsirkan secara berbeda.
- Isi surat perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan norma susila yang berlaku.
Manfaat surat perjanjian :
- Memberikan rasa tenang bagi kedua belah pihak yang berjanji karena terdapatnya kepastian didalam surat perjanjian.
- Mengetahui secara jelas batasan antara hak dan kewajiban pihak-pihak yang berjanji.
- Menghindari terjadinya perselisihan.
- Bahan penyelesaian perselisihan atau perkara yang mungkin timbul akibat suatu perjanjian.
Jenis-jenis surat perjanjian
a) Perjanjian Jual Beli, dalam surat ini
disebutkan bahwa pihak penjual diwajibkan menyerahkan suatu barang kepada pihak
pembeli. Sebaliknya, pihak pembeli diwajibkan menyerahkan sejumlah uang
(sebesar harga barang tersebut) kepada pihak penjual sesuai dengan kesepakatan
kedua belah pihak. Setelah penandatanganan surat tersebut, kedua belah pihak
terikat untuk menyelesaikan kewajiban masing masing. Setiap pelanggaran atau
kelainan dalam memenuhi kewajiban akan mendatangkan konsekuensi hokum karena
pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan atau klaim.
b) Perjanjian Sewa Beli ( angsuran), Surat ini
boleh dinyatakan sama dengan surat jual beli. Bedanya harga barang yang di
bayarkan oleh pihak pembeli dilakukan dengan cara mengangsur. Barangnya
diserahkan kepada pihak pembeli setelah surat perjanjian sewa beli
ditandatangani. Namun hak kepemilikan atas barang tersebut masih berada di
tangan pihak penjual. Jadi sebelum pembayaran atas barang tersebut masih di
angsur, pihak pembeli masih berstatus sebagai penyewa. Dan selama itu pihak
pembeli tidak berhak menjual barang yang disebutkan dalam perjanjian sewa beli
tersebut. Selanjutnya hak milik segera jatuh ke tangan pembeli saat pembayaran angsuran/cicilan
terakhir dilunasi.
c) Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian ini
merupakan suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan dan pihak yang
menyewa., dimana pihak yang menyewa (pihak 1) berjanji menyerahkan suatu barang
(tanah, bangunan, dll) kepada pihak penyewa (pihak II) selama jangka waktu yang
di tentukan kedua belah pihak. Sementara itu pihak penyewa di wajibkan membayar
sejumlah uang tertentu atas pemakaian barang tersebut.
d) Perjanjian Borongan, Perjanjian ini dibuat
antara pihak pemilik proyek dan pihak pemborong, dimana pihak pemborong setuju
untuk melaksanakan pekerjaan borongan sesuai dengan syarat syarat/spesifikasi
serta waktu yang di tetapkan/disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk itu pihak
pemilik proyek wajib memebayar sejumlah uang tertentu (harga pekerjaan
borongan) yang telah di sepakati kedua belah pihak kepada pihak pemborong
e) Perjanjian Meminjam Uang, Surat perjanjian
ini merupakan persetujuan antara pihak piutang dengan pihak berhutang untuk
menyerahkan sejumlah uang. Pihak yang berpiutang meminjamkan sejumlah uang
kepada pihak yang meminjam, dan pihak peminjam wajib membayar kembali hutang
tersebut ditambah dengan buang yang biasanya dinyatakan dalam persen dari pokok
pinjaman, dalam jangka waktu yang telah disepakati.
f) Perjanjian Kerja, Pada dasarnya surat
perjanjian kerja dan perjanjian jual beli adalah sama. Yang membedakan adalah
obyek perjanjiannya. Bila dalam surat perjanjian jual beli objeknya adalah
barang atau benda, maka objek dalam surta perjanjian kerja adalah jasa kerja
dan pelayanan Para pihak dalam surat perjanjian kerja adalah majikan (pemilik
usaha) dan pekerja (penyedia jasa).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat surat
perjanjian kerja adalah
Ø Lama masa kerja
Ø Jenis pekerjaan
Ø Besarnya upah atau gaji beserta tunjangan.
Pihak majikan biasanya telah mempunyai suatu pegangan atau standar gaji untuk
menentukan gaji yang layak untuk suatu tingkat keahlian kerja.
Ø Jam kerja per hari, jaminan sosial, hak cuti,
dan kemungkinan untuk memperpanjang perjanjian tersebut.
3.
Syarat Sahnya
Perjanjian
Dalam
Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat, yaitu:
a)
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan
diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
b)
Kecakapan, yaitu
bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut
hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan
Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan
hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal
1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian yakni:
a)
Orang yang belum
dewasa.
Mengenai
kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
v Menurut
Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian
telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat
pikirannya.
v Menurut
Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang
Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi
pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila
telah mencapai umur 16 tahun.
b)
Mereka yang berada di
bawah pengampuan.
c)
Orang perempuan dalam
hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang
Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
d)
Semua orang yang
dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
·
Mengenai suatu hal
tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai
suatu obyek tertentu.
·
Suatu sebab yang
halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan
hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban
Syarat No.1 dan No.2
disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau
subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4
disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu
perjanjian. Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu
pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang
dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang
telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang
berhak meminta pembatalan tersebut. Sedangkan apabila syarat obyektif yang
tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak
semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan.
4. Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti
penting bagi:
a) Kesempatan penarikan kembali penawaran
b) Penentuan resiko
c) Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa
d) Menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1)
BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa
perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak
pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan. Pada umumnya perjanjian yang
diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat
adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam
kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya
(toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan
pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende
wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi
(acceptatie). Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak
dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang
menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Adabeberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan
saat lahirnya kontrak yaitu:
a) Teori Pernyataan (Uitings Theorie), Menurut teori ini, kontrak telah
ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulissuratjawaban penerimaan.
Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan
penerimaan/akseptasinya.
b) Teori Pengiriman (Verzending Theori),Menurut teori ini saat pengiriman
jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai
sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c) Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie), Menurut teori ini saat lahirnya
kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang
menawarkan.
d) Teori penerimaan (Ontvangtheorie), Menurut teori ini saat lahirnya
kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakahsurattersebut
dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saatsurattersebut sampai
pada alamat si penerimasuratitulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya
kontrak.
Pelaksanaan Perjanjian Itikad baik dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai
pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan
norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik
ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang
telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya.
Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
5. Pembatalan dan Pelaksanaan Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah
satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang
dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena;
a) Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam
jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
b) Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami
kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
c) Terkait resolusi atau perintah pengadilan.
d) Terlibat hokum.
e) Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan
perjanjian.
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan
atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum
untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain,
dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah
mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua
belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut
prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan
tidak melakukan suatu perbuatan.
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4
syarat:
1.
Kesepakatan mereka yang
mengikatkan diri.
2.
Kecakapan untuk membuat
suatu perikatan.
3.
Suatu pokok persoalan
tertentu.
4.
Suatu sebab yang tidak
terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif,
sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak
terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka
kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur
ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak
tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa
yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang
menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau
undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus
dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas
dimasukkan di dalamnya.
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang,
perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran
(offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik
itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun
kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi
tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat
yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah
lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak
lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan
ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau
peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam
pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual
beli.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah
pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak.
Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya
kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan
adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas
konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang
timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Syarat pertama di atas menunjukkan kata
sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang
diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik
autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian,
hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi
persyaratan formil.
Subyek hukum atau pribadi yang menjadi
pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya
perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam
praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur.
Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau
menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan
kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau
menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian
itu dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian
saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi
termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga .
Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan
tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari
causa ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan
sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa
dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya
kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan
itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus
halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut
haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai
kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang
atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan
perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang
merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana.
Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar
ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan
masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang
berbeda-beda.
Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu
:
1. Perjanjian Konsensuil,
Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah
cukup untuk timbulnya perjanjian.
2. Perjanjian Riil,
Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian
telah diserahkan.
3. Perjanjian Formil,
Adalah perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau
disertai formalitas tertentu.
sumber :http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan#
http://www.google.co.id/search?q=Lahirnya+Perjanjian&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/hukum-perjanjian-16/
http://tulisanadalahtugas.blogspot.com/2011/03/hukum-perjanjian.html
Buku
- Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
- Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.